0 Comment
Maut di Ketinggian Sunyi (Gn.Salak 1987)
Majalah Tempo 21 Maret 1987

HINGGA Selasa pagi pekan itu, dua liang masih menganga terbuka di Taman Pemkaman Umum (TPU) Penggilingan, Rawamangun, Jakarta. Itulah pertanda bahwa Irvan Supandi dan Ahmad Rudiat masih berada jauh tinggi di sana, di Gunung Salak, entah mati entah hidup. Itu juga berarti ratusan pecinta alam masih terus menyusur Sungai Cibadak di gunung itu, tempat jenazah rekan mereka — yang sudah mengisi empat kuburan baru di sebelah kedua liang kosong tadi — ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

Sebuah akhir cerita hidup yang menyedihkan, memang. Padahal, tak ada firasat buruk muncul di awal pendakian nahas ini. Ia bermula ketika delapan siswa kelas dua STM Pembangunan Jakarta Timur mencari ide untuk mengisi hari libur yang tiba-tiba menubruk mereka. Pasalnya, pada hari Jumat, 20 Februari lalu itu, sekolah mereka kebanjiran hingga tak ada kegiatan belajar. Ditambah lagi keesokan harinya para guru berniat mengadakan rapat, yang menyebabkan murid bebas belajar. Wajar jika di pagi itu tiba-tiba muncul ide untuk mendaki Gunung Salak keesokan harinya.

Secara spontan, perencanaan pun didiskusikan dan kata sepakat dicapai untuk berkumpul di depan sekolah esok harinya, pukul 8 pagi. Adalah nasib jua yang membuat Yumarsanto, 17, ternyata terlambat bangun. Toh ia masih mencoba pergi ke tempat rendezvouz tersebut. Tapi ia cuma menjumpai tukang mi langganan mereka, yang menginformasikan bahwa ia telah ditinggal. 

Belakangan, Yumarsanto mengetahui ia tak sendirian. Boyke Zulkarnaen, yang tadinya juga merencanakan berangkat, ternyata, urung ikut. Alhasil, hanya 6 orang yang berangkat: Ahmad Rudiat, 19, Chaerudin, 18, Eddy Pujianto, 18, Irvan Supandi, 16, Mulyadi, 19, dan Wisnu Herwanto, 18. Besar dugaan, Ahmad Rudiat alias Adit menjadi pemimpin tak resmi rombongan ini. “Kata teman-temannya, ia memang paling berpengaruh,” tutur Djukardi Adriana alias Bongkeng, anggota Wanadri yang menjadi on scene commander operasi SAR di Gunung Salak ini. Adit memang punya modal untuk memimpin. Hanya dia dan Mulyadi yang anggota resmi pecinta alam di sekolah mereka, karena itu berhak memakai syal segitiga biru berinisial klub itu. Lagi pula, ia berpengalaman mendaki Gunung Cermai di Cirebon dan Gunung Gede–Pangrango di kawasan Puncak. Hingga, ayahnya pun Letkol Drs. A.R Sabirin, mudah saja memberi izin anaknya mendaki Gunung Salak kendati istrinya keberatan. “Dia cuma minta uang Rp 6.000 dan bilang hari Minggu sudah pulang,” kata Sabirin. Agaknya, kepemimpinan Adit yang dibantu Mulyadi ini yang menyebabkan rombongan kemudian memilih jalur pendakian yang tak umum. 
Alasannya, memang, khas anak muda. Mereka tampaknya ingin membuat jalur pendakian baru menuju pancuran tujuh, yaitu air terjun dekat puncak Gunung Salak yang masih jarang dikunjungi orang. Mulyadi pernah merintis rute ini, Desember 1986, tapi sampai di pancuran ketiga kehabisan perbekalan. Maka, terpaksa perintisan rute ditangguhkan dan rombongan Mulyadi saat itu turun kembali. Tapi mereka sempat meninggalkan tanda berupa ikatan tali rafia biru di pohon yang mereka lalui. Rencananya, klub STM mereka yang bernama Teknik Pembangunan Pencinta Alam (Tepepa) akan melanjutkan penelusuran. Ketua Tepepa, Kelly Daryono, merencanakan melakukan ekspedisi ini sehabis pemilu nanti, dan rute itu akan di namakan rute STM Pembangunan. Ada dugaan, rombongan Adit dkk. ini ingin mendahului Kelly.

Maklum, menurut rekan-rekan mereka, kedua siswa ini memang bersaing. Sayangnya, semangat kompetitif yang sehat itu tak didukung persiapan yang matang. Perlengkapan mereka sangat tak memadai untuk ekspedisi membuka jalur baru: tak ada kompas, pakaian, dan makan yang mencukupi. “Yang paling fatal, sebagai pendaki yang ingin menemukan rute baru, mereka tak membawa peta,” kata Bongkeng. Perbekalan diperkirakan hanya disiapkan untuk dua hari, sedangkan pakaian pelindung hujan terabaikan. Mulyadi, misalnya, berangkat dalam pakaian seragam sekolah dan tak membawa jaket. Belakangan terbukti, hal yang kelihatan sepele ini menjadi penyebab utama perjumpaan mereka dengan sang maut. Padahal, medan Gunung Salak tergolong sulit. Banyak lembah dan jurang, dengan sungai berair terjun yang diapit dinding yang curam.

Di dinding curam ini ada hutan-hutan yang ditumbuhi rotan, belitan tamiang (pohon rambat), dan onak. Hingga saat ini, masih belum jelas bagaimana sebenarnya rute yang mereka tempuh. Bila mereka meneruskan jalur rafia biru, berarti mereka masuk dari Sukamantri dan terus naik ke arah selatan, hingga ikatan rafia biru itu habis. Ini berarti mereka telah mendaki sekitar tujuh jam. Mungkin mereka lalu meneruskan perjalanan menerabos semak ke selatan. Ini terbukti dari ikatan rafia kuning yang mereka tinggalkan. Sementara itu, terjalnya pendakian mungkin memaksa mereka mengarah ke barat daya. 

Bisa jadi, di ujung ikatan rafia kuning ini ditemukan — sekitar satu setengah hari pendakian dari Sukamantri — mereka mulai tersesat. Entah karena kehabisan tali rafia kuning sebagai petunjuk atau mereka tergoda untuk menuruni gunung ke arah timur. Maklum, arah itu sekilas terlihat landai dan lampu perumahan di lereng gunung dapat terlihat jelas.

Bisa dibayangkan, dalam kondisi lelah, lapar, dan kedinginan, sinar lampu perumahan itu terasa mengundang mereka untuk segera datang. Tanpa peta, mereka tak menyadari bahwa di depan menghadang jurang yang dalam dan tebing yang terjal.

Padahal, hujan terus mengguyur selama pendakian itu. Suasana panik atau tergesa-gesa terkesankan dari ditemukannya banyak barang tercecer di daerah ini, seperti sarung tangan, sapu tangan, sumbu kompor, dan supermi utuh. Apa yang terjadi sesudah itu memang masih sulit diduga. Letkol Sabirin mulai merasa waswas ketika anaknya tak kembali ke rumah hari Minggu, 22 Februari lalu. Sampai Minggu malam, Sabirin masih berharap anaknya tertidur kelelahan di rumah temannya. Tetapi ketika esok siangnya Adit masih belum muncul, Sabirin mulai mengambil tindakan.

Mula-mula, ia menghubungi orangtua Mulyadi, yang ternyata malah tak tahu anaknya mendaki gunung. Lantas, ia mencoba menghubungi rumah teman Adit yang lain. Tanpa hasil. Maka, Selasa pagi, 24 Februari, Sabirin mencari keterangan ke sekolah. Ternyata, pihak sekolah tak tahu ada muridnya yang mendaki Gunung Salak. Bahkan baru hari itu mereka tahu bahwa di kelas Adit ada enam siswa yang tidak hadir sejak Senin. Alhasil, Sabirin langsung berangkat ke Bogor dan menghubungi Polsek Ciomas, di kaki Gunung Salak. Pengumpulan informasi pun dilakukan dari masyarakat sekitar dan didapat keterangan memang ada satu grup STM pergi mendaki, tetapi tak jelas dari STM mana. Lantas, dengan ditemani Kapolsek Ciomas, Letda Budi Setiadi, dan 20 penduduk, Sabirin mendaki Gunung Salak untuk mencari anaknya.

Hasilnya nihil. Maklum, menyisir Gunung Salak memang bukan pekerjaan kaum amatir. Atas saran Kapolsek, Sabirin pun segera menghubungi SAR pusat, di Jakarta, dan awal pencarian besar-besaran terhadap keenam pendaki itu pun dimulai. Sayang, awalnya kurang menggembirakan. Pasalnya, mereka mendapatkan informasi dari kelompok Wanadri Jakarta dan SMAN 8 Jakarta yang mendaki pada hari yang sama dengan Adit dkk. bahwa mereka bertemu dengan kelompok STM antara Warung Loa dan puncak Gunung Salak. Karena itu, pencarian pun dilakukan sekitar Warung Loa itu. Baru pada 1 Maret tim SAR menyadari bahwa grup STM itu bukanlah Adit dkk. Hal ini terungkap setelah Kelly Daryono bersama tujuh anggota Tepepa lainnya dan seorang guru merintis jalur Sukamantri. Mereka malah kemudian tersesat. Untung, hubungan radio handy talky yang mereka bawa dengan posko SAR bisa terjalin. Mulanya, mereka disarankan untuk menunggu regu penjemput, tapi Kelly dkk memutuskan mencoba jalan sendiri. Dibimbing dengan hubungan radio komunikasi itu, akhirnya, mereka sampai di posko SAR.

Dari penuturan Kelly inilah tim SAR menyadari kekeliruan mereka. Apalagi Kelly dkk. berhasil pula menemukan jejak yang meyakinkan, seperti tulisan “MUL” (dari Mulyadi) di tepi sungai. Beberapa pihak menyayangkan Kelly tak melaporkan ini lebih dini. Namun, ada juga yang heran mengapa tim SAR percaya begitu saja bahwa Adit dkk. mendaki dari Warung Loa. “Memang, data yang masuk dari Warung Loa itu yang membingungkan dan kami terlambat mendengar mereka masuk dari Sukamantri,” kata Ir. Gustav Adolf “Ocim” Husein dari Wanadri. 

Walhasil, pengorbanan tim SAR berdingin-dingin dan berletih-letih selama seminggu di sekitar Warung Loa terhitung sia-sia belaka. Dengan petunjuk baru yang lebih meyakinkan ini, daerah pencarian pun dipindahkan ke sekitar daerah habisnya rafia kuning. Sementara itu, pemberitaan media pun mulai gencar meliput upaya SAR ini. Dampak positif pemberitaan adalah mengalirnya sumbangan sukarela dari masyarakat baik berupa materi maupun tenaga sukarelawan yang bagai tak ada hentinya itu. Kendati jenazah yang ditemukan tim SAR 12 – 13 Maret lalu telah rusak parah, penemuan ini menghentikan perasaan tidak pasti yang mengimpit sanak keluarga mereka. 

Sukarelawan baru terus berdatangan, termasuk tim Skygers yang dipimpin Harry Suliztiarto.
Tim manusia cecak, yang pernah menaklukkan tebing Eiger di Pegunungan Alpen, itu kini menyusuri jeram-jeram Sungai Cibadak untuk mencari Irvan dan Adit. Kehadiran mereka memang sangat diharapkan, mengingat jeram ini 80-an meter tingginya dengan keterjalan tinggi. Apakah mereka akan berhasil menemukan Adit dan Irvan, yang telah hampir sebulan ini berdingin-dingin di ketinggian nan sunyi, jauh di sana? 
(Bambang Harymurti, Laporan Toriq Hadad & Farid Gaban)



Kisah Pencarian oleh Kelly Daryono dan PA TEPEPA
Edwin hibiki (plus.google.com/111739634583097515897)

Berikut kisah dari sudut pandang Kelly Daryono (Pendiri dan ketua Pencinta Alam TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM) dalam usahanya bersama Pencinta Alam TEPEPA melakukan pencarian para junior mereka yang hilang di Gn. Salak 1987:

Sudah 29 tahun yang lalu kisah ini terjadi pada diri saya dan baru hari ini saya menemukan dan membaca  artikel yang pernah saya alami, itu pun saya dikirimi artikel ini oleh seorang anak muda dimana pada  bulan april 2015 kami bertemu dan mendaki bareng ke puncak gunung rengganis dan argopuro.  Beberapa anak muda yang saat melakukan pendakian argopuro dan rengganis memiliki semangat tinggi walaupun dr ilmu pendakian dan jelajah alam masih  kurang mempuni akan tetapi karena rasa  ingin tahu dan belajar yang kuat terlihat dari pandangan matanya. Saat itu saya tidak ingin menggurui atau mendidik secara langsung tetapi cukup dengan cerita pengalaman saya selama mendaki gunung dari pertama kali saya mendaki kelas 5 SD hingga sekarang. Dari cerita saya yang  panjang , ada bagian cerita yang menarik perhatian anak muda yang baru saya kenal itu  "TRAGEDI GUNUNG SALAK 1987" yang hingga kini kisah itu tidak akan pernah saya lupakan dan akan selalu saya kenang karena merupakan pelajaran yg amat berharga dalam hidup saya.                                                          

Saya  bernama KELLY DARYONO (085810 221122) pendiri dan ketua Pencinta Alam TEPEPA ( TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM )  1984 akhir  s/d 1987  dan akan sedikit mengkoreksi  dan menambahkan bagian bagian kisah Tragedi gunung salak 1987   yang mungkin belum atau kerena keterbatasan informasi  yang diterima  sehingga penulis tidak menceritakan di dalam kisah ini :

I. Desember 1986 .
Saat  di kisahkan oleh penulis , MULYADI  (almarhum) ikut merintis membuka jalur pendakian gunung salak pada bulan desember 1986,  Cerita sebenarnya mulyadi tidak ikut dlm ekspedisi buka jalur  karena expedisi tersebut merupakan program senior senior pencinta alam sekolah kami (TEPEPA) TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM. Dan program itu akan di jadikan ajang pemilihan ketua pencinta alam  sebagai pengganti saya yg  akan berakhir jabatan karena kelulusan sekolah.  Kala itu saya  duduk di kelas 4 STM PEMBANGUNAN JAKARTA,  Mulyadi dan Ahmad Rudiat masih duduk di kelas 2.  Saya merupakan pendiri dan sekaligus menjabat KETUA  Pencinta Alam di sekolah kami ,selama 2 tahun lebih (pendirian PA saat saya duduk di bangku kelas 2 akhir). Program pemilihan ketua pencinta alam untuk mencari jalur yang saya buka bersama rekan rekan seangkatan saya saat itu ternyata bocor ke anggota PA dan seperti yg dikisahkan oleh penulis, MULYADI dan AHMAD RUDIAT merupakan anggota PA yang  berambisi menjadi ketua PA oleh karenanya mereka bersama ke 4 rekan sekelasnya mencoba dan mencari jalur yg kami rintis dan belom selesai itu pada ketingian  ( 1600 MDPL ) dan akan kami lanjutkan setelah pemilu selesai. Kemungkinan langkah ini diambil oleh mereka karena berdua  memang berambisi, untuk menjadi ketua PA , jabatan ketua PA kala itu merupakan jabatan bergengsi dan menjadi ajang rebutan dari semua siswa   yang ada di sekolah kami.

II.  Senin 23 februari 1987
Orang tua Ahmad Rudiat datang ke sekolah kami menanyakan tentang keberadaan Ahmad Rudiat dan saat itu pula saya di panggil kepala sekolah ( Bapak Harmaen ) untuk menanyakan anggota PA apa ada kegiatan pendakian gunung , saat itu saya jawab tidak ada akan tetapi orang tua AHMAD RUDIAT menginformasikan bahwa anaknya pada hari sabtu yang lalu mendaki Gunung Salak dan hingga kini belum kembali . Maka saya pun kaget , dan merasa bersalah  atas kepergian  AHMAD RUDIAT cs  tersebut, karna saya tidak tahu menahu  kalau ada anggota pencinta Alam  yang  mendaki gunung tanpa izin organisasi PA.

III.  Selasa 24 februari 1987.
Saya bolos sekolah dan pergi ke Terminal bogor seorang diri dan bertanya kepada seluruh supir angkot ( bemo / kendaraan roda 3  ) dengan pertanyaan yang sama apakah hari sabtu 21 februari ada 6 orang siswa yang naik bemo dan akan mendaki gunung salak , pencarian informasi di terminal itu saya lakukan dari pagi hari hingga sore hari untuk memastikan semua supir bemo mendapat pertanyaan yang sama ,dan akhirnya saya mendapat jawaban dari salah seorang supir bemo jawabanya ADA dan turun di pertigaan Sukamantri. Selanjutnya saya pergi ikut supir bemo tsb,   ke pertigaan desa Sukamantri  dimana AHMAD RUDIAT cs turun dari bemo itu. Dan saya kemudian jalan dan bertanya kepada penduduk  yg ada di sekitar jalan itu dan mendapat jawaban yang sama dgn supir bemo. Selanjutnya saya bergegas pulang ke rumah karena hari sudah malam.

IV .  Rabu 25 februari 1987.
Saya datang ke sekolah seperti biasanya dan saya menghadap bapak kepala sekolah  dan melaporkan pencarian informasi awal yang saya  jalani seorang diri. Dan ternyata bapak kepala sekolah memerintahkan kepada saya untuk ikut bergabung dengan  Team SAR yg kala itu di pimpin KANG BONGKENG sebagai koordinator SAR. Dan saat itu saya di beri uang saku Rp. 300.000 untuk membeli perbekalan pendakian. Ditemani 5 orang rekan seangkatan saya dan 1 orang guru olah raga yang saat itu sebagai pembina Pencinta Alam ( bapak JOKO).

V . Kamis 26 februari 1987
Perjalanan ke ke Gunung Salak saat itu  kami diantar menggunakan mobil dari sekolah dan di perjalanan kami berdiskusi dgn rekan rekan dan PAK JOKO yang ikut dalam team yang di bentuk oleh sekolah kami, apakah kita bergabung dgn team SAR yg sudah ada atau kita melakukan  pencarian sendiri.  Dari hasil diskusi team , kami memutuskan pencarian kita lakukan sendiri tanpa melapor ke team SAR, hal  Ini dengan pertimbangan  informasi kami yang kami punya dan  masih mentah ini  tidak akan didengar oleh team SAR yg sudah bekerja 3 hari lalu di desa WARUNGLOWA karena team SAR yg sudah ada merupakan  orang orang hebat  dan terlatih seperti WANADRI ,MAPALA UI  bahkan BASARNAS dan anggota tentara  anak buah orang tua AHMAD RUDIAT.
Pencarian kami awali dari desa SUKAMANTRI dengan menyusuri tali rafia yang mana pada bulan desember ( 2 bulan ) lalu saya ikat pada batang batang pohon  dan  pada ketinggian 1400 MDPL team yang kami pimpin itu  mulai menemukan titik titik terang seperti bungkus permen , puntung roko , bungkus supermi dsb. Semua ini terlihat masih baru di buang dan umurnya tidak lebih dari 1 minggu. Dan pada ketinggian itu kami awali untuk berkomunikasi dgn team SAR yg ada di desa WARUNGLOA dan menginformasikan kalau kami dari Team STM PEMBANGUNAN yang di pimpin oleh KELLY DARYONO menemukan tanda tanda kalau anggota kami  yang hilang melalui  jalur desa SUKAMANTRI. Saat itu kami diperintahkan menunggu di lokasi pada ketinggian 1400 MDPL dan team SAR menginformasikan akan menyusul, kami memutuskan membuka tenda dan bermalam di ketinggian 1400 MDPL,  sambil menunggu team SAR yg menyusul. Akan tetapi hingga  pagi hari bahkan siang hari team yg akan menyusulpun belum bertemu kami , apalagi baterai HT yg kami bawa pun akhirnya habis ( drop ) dan kami tidak  dapat lagi berkomunikasi dengan team SAR. DAN DISINILAH KAMI DINYATAKAN OLEH TEAM SAR yang ada di posko WARUNGLOA  KAMI ROMBONGAN KEDUA YANG BERJUMLAH 7 ORANG HILANG. Karena tidak ada komunikasi lagi  kami memutuskan  kembali melanjutkan pencarian  hingga pada  ketinggian 1600 MDPL.  Dan pada ketinggian itu, terdapat dimana sebelah kanan jalur kami sungai Ciapus dan sebelah kiri adalah sungai Cibadak.  Kami juga menemukan beras tercecer pada permukaan tanah yang sedikit landai, serta ada bekas sisa pembakaran kayu dan tempat bermalam, kami semakin yakin bahwa AHMAD RUDIAT CS sempat bermalam di ketinggian ini, dan di dekat bakaran kayu tepatnya di  bibir jurang sungai Ciapus ini ada bekas prosotan seperti orang terpeleset , dan kami berpikir kalau AHMAD RUDIAT CS kehabisan air dan menuruni jurang itu untuk mengambil air di aliran sungai Ciapus, dengan pemikiran itu kami memutuskan  untuk menuruni jurang dengan kedalaman  800 s/d 900 meter dengan kemiringan rata rata 70 s/d 80 derajat dan kami perkirakan dapat kami tempuh 1 s/d 2 jam perjuangan dgn merayap.  Ternyata perkiraan kami meleset jauh karena teramat sulitnya medan jurang itu untuk di turuni,  bahkan sampai pukul +- 19 .00 dan hari sudah gelap, kami belum juga sampai di tepi sungai Ciapus .  Kami pun  memutuskan  bermalam di tebing itu dgn cara badan kami diikat degan tali yang sudah kami bawa,  kemudian kami ikatkan ke batang batang pohon tumbang yg ada di sekitar kami agar tubuh kami tidak  merosot saat tertidur pulas, malam itu team yang kami pimpin tidur dgn posisi duduk dan beratap langit karena tidak mungkin kami dapat mendirikan tenda, tidur saja dengan posisi duduk.
Singkat cerita, pagi hari kami melanjutkan menuruni jurang ini sampai ke tepi sungai ciapus dan baru tiba pada  siang hari, ternyata prosotan yg kami telusuri pada jurang ini terdapat BABI HUTAN mati karena terpeleset  dan jatuh dari ketinggian 1600 MDPL . Kemudian kami menelusuri tepian sungai dan akhirnya ketemu penduduk asli gunung salak yang kemudian kami di bawa ke posko di desa WARUNGLOA.  Disinilah kami berdiskusi dgn orang orang hebat yg memiliki keahlian tentang  alam dan hutan , dari hasil diskusi esok harinya POSKO TEAM SAR DI PINDAH KE DESA SUKAMANTRI .  Dan kami  KELLY DARYONO  dgn di temani KANG BONGKENG BESERTA kurang lebih 50  personil sukarelawan pencinta alam dari berbagai perguruan tinggi di JABODETABEK menelusuri jalur yg kemarin baru saja saya telusuri bersama rekan rekan dan 1 orang guru dari team STM PEMBANGUNAN , hingga ketinggian 1600 MDPL  dan mendirikan  POSKO BAYANGAN  di ketinggian ini selanjudnya  pencarian di lanjutkan pada ketinggian 1800 MDPL dan pada ketinggian ini kami dan team SAR berkonsentarasi ke arah kiri jalur kami dan dari ketinggian ini suara azan  dari masjid  perkampungan bawah terdengar jelas dan lampu lampu penerangan rumah pun terlihat jelas sehingga   terkesan dekat dengan perkampungan penduduk . pada ketinggian ini pula team membentuk barisan sisir agar lebih teliti dan akurat dalam menyisir lokasi , dan ternyata benar terdapat prosotan yg mengarah sungai  CIBADAK yg akhirnya di temukan 4 jenasah  anggota Pencinta ALAM TEPEPA ( TEKNIK PEMBANGUNAN PENCINTA ALAM ) yang jaraknya tidak berjauhan , 3 jenasah di temukan pada hari ke 28  dan 1 jenasah pada hari ke 29  sejak keberangkatan pendakian AHMAD RUDIA cs.

VI  Pencarian 2 anggota  TEPEPA
Setelah evakuasi  ke 4 jenazah anggota TEPEPA  yang dilakukan oleh sekarelawan PA dan dibantu  penduduk setempat melakukan evakuasi, serta membawa  ke 4 jenazah ke RS PMI BOGOR untuk dilakukan  otopsi  dilanjutkan pemakaman  seperti di jelaskan oleh penulis  ( TPU penggilingan rawamangun ) , maka pencarian dilanjutkan dgn mendaki punggungan dan menuruni jurang   gunung salak dan hasilnya TEPAT pada hari ke 40 ditemukan kembali 2 jenasah rekan ( anak buah ) kami  anggota Pencinta Alam TEPEPA , di mana lokasi ditemukannya 2 jenasah yang berdekatan itu tidak jauh dari kebun nanas penduduk yang jaraknya hanya 1 s/d 1,5 jam . Selanjutnya ke 2 jenazah di perlakukan sama seperti ke 4 jenazah yg terlebih dahulu di temukan.

11 April 1987
Keenamnya meninggal sudah
Gunung Salak sepi kembali dari tim ~SAR. Sabtu pekan lalu dua terakhir, dari enam siswa STM Pembangunan yang hilang, sudah ditemukan. Dua jenazah yang ditemukan hari itu dipastikan sebagai Achmad Rudiat dan Irfan Supandi. Kedua siswa meninggal di ketinggian 1.375 meter sekitar 1 kilometer dari jenazah empat rekannya terdahulu, dipisahkan oleh dua punggungan bukit dan lembah yang terjal. Diduga, seorang siswa jatuh terpeleset di sungai, atau terempas dari punggung barat Sungai Cibadak. Rudiat dan Irvan mencoba mencari bantuan, sementara tiga rekannya menunggu. Kelaparan dan kelelahan yang sangat membuat Chaerudin, Mulyadi, dan Wisnu tak kuasa bertahan. Mereka meninggal berdekatan di pinggir sungai berbatu yang lebarnya tak sampai 5 meter. Adit dan Irvan, mestinya sudah berhasil mendaki tebing 150 meter, dan tiba kembali di punggung barat Cibadak. Mereka menyisir punggung itu ke arah Loji di timur. Suara radio penduduk pun, dari ketinggian di situ, terdengar. Tapi, makin ke timur, mereka mendapati medan yang makin curam. Tentunya, mereka lalu bergerak ke barat. Celakanya, justru tebing-tebing di barat lebih curam. "Kalau mereka jalan ke selatan sekitar 100 meter lagi, pasti akan ketemu jalan setapak ke Loji," tutur Herry Macan dari Wanadri, kepada Didi Sunardi dari TEMPO. Rasa putus asa dan kelelahan yang sangat membuat kedua siswa menyerah. Kerangka jenazah keduanya bukan ditemukan oleh SAR, tapi tim PHPA Taman Nasional Cibodas, yang sebelumnya tak pernah ikut mencari. Achmad Suyani, pimpinan rombongan PHPA itu, memang dikenal sebagai "orang pandai". Menurut sumber TEMPO, dia juga dulu yang menemukan jenazah Robby di Gunung Gede Pangrango. Waktu itu Achmad naik gunung setelah tim SAR mulai putus asa. Seperti juga kini, Achmad hanya butuh waktu sehari untuk menemukan korban. Daerah ditemukannya korban sebenarnya adalah daerah jelajah tim SAR. Agaknya, justru banyaknya yang ikut mencari, sementara kemampuan berbagai kelompok pecinta alam yang sukarela menyumbang tenaga itu beragam, menyebabkan daerah sapuan ada bolongnya. Rafiq Pontoh, Koordinator SAR, tak sia-sia meninggalkan pekerjaannya hampir dua bulan. Gunung Salak sepi kembali.

SARAN DAN PESAN SERTA PELAJARAN YANG DAPAT,DI AMBIL DARI PERISTIWA TRAGEDI GUNUNG SALAK  1987 :
1.  Jangan  pernah merasa kalau kita akan dapat menaklukan gunung dan alam yang akan kita daki/ jelajahi , karena dgn adanya perasaan itu kita akan memaksakan diri untuk mencapainya walaupun fisik dan kemampuan sudah menurun dan tidak mendukung lagi.   Nikmati keindahan dan hasil alam ini,  karena saya yakin kalau alam yg di ciptakan oleh YANG MAHA KUASA ini di ciptakan bukan untuk di taklukan tapi untuk di nikmati keindahannya dan hasilnya.

2 . Kami menghimbau kepada semua pendaki jangan pernah menghitung beban berat yang ada di pundak kita karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi 1 detik pun  di depan kita. Artinya bawalah perbekalan, ( air,makanan )  peralatan  standard yang dibutuhkan  untuk mendukung hidup kita selama pendakian berjalan dan bawalah  stok makanan berlebih untuk 2/3 hari kedepan melebihi jadwal pendakian,   walaupun beban itu akan semakin berat.

3 .Pelajari dan cari informasi terakhir  tentang karakter gunung alam yang akan kita jelajahi sebanyak banyaknya sebagai bekal kita sebelum expesisi pendakian kita lakukan.

4. Bekali diri kita dgn ilmu ilmu pendakian gunung atau jelajah alam seperti survival hidup di alam bebas, membaca kompas , cara mengatasi dan menghindari penyakit  ketinggian DLL.

5 . Jika memungkinkan lengkapi pendakian dgn peta terakhir gunung yang akan kita daki . Dan jangan pernah mencoba buka atau keluar dari jalur setapak yang sudah ada, jika kita tidak menguasai  / membaca peta gunung yang kita daki . Dan tinggalkan tanda tanda atau tali  yang warnanya mencolok jika kita ragu dgn jalur / jalan  yang kita telusuri.

6. Jika kita sudah kehilangan arah , kita perlu berdiam sejenak sambil beristirahat , tenangkan diri kita dan coba ingat kembali terakhir kita keluar dari jalur yang benar, dan jangan sungkan untuk kembali ke jalur awal walaupun jarak yang kita tempuh sudah cukup jauh.

TERIMAKASIH KEPADA SEMUA SUKARELAWAN PENCINTA ALAM  BAIK YANG TERGABUNG DALAM ORGANISASI MAUPUN PERORANGAN YANG  TELAH TURUT SERTA BERPARTISIPASI  DALAM PENCARIAN ANGGOTA  TEPEPA DIMANA BEGITU BANYAK PENGORBANAN BAIK MATERIAL MAUPUN TENAGA  HINGGA PROSES PENCARIAN  BERJALAN SELAMA 42 HARI .

BOGOR, 9 MEI 2015

Posting Komentar Blogger

 
Top